Wednesday, June 25, 2014

Dieng 2014


Sekedar tulisan singkat, oleh-oleh dari cuti kantor tanggal 12 sampai dengan 17 Juni 2014 yang lalu.

Cuti pertama di tahun ini, saya isi dengan 2 acara undangan ke resepsi pernikahan dan 1 acara solo travelling ke Dataran Tinggi Dieng.

Undangan resepsi pernikahan di Cirebon tanggal 13 Juni kemarin, merupakan salah satu acara wajib datang di tahun 2014 ini. Karena ngga enak kan sudah dikasih seragaman sama yang punya hajat. Karena ini adalah pernikahan anak-bungsu-tetangga-rumah-yang-sudah-kami-anggap-seperti-saudara-sendiri ^^. Itulah kenapa, saya sampai bela-belain ambil cuti di tanggal itu. Terkadang yang namanya tetangga, kedekatannya bisa melebihi saudara sendiri sih, ya. Hehee..

Nah, kalau undangan resepsi pernikahan satunya lagi, tanggal 15 Juni diadakan di Karanganyar, Kebumen. Spesial tentang acara yang kedua, ini adalah acara pernikahan putri dari Bapak dan Ibu Riyadin, dua orang yang sudah pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya. Ini kali pertama saya mengunjungi mereka di Kebumen, dan silaturahmi yang pertama setelah hampir 3 tahun tidak bertemu.

Oleh karena Bapak dan Ibu Riyadin masih merasa kangeenn - sebagai pemudi yang pengertian saya pun memutuskan menginap 2 malam di rumah mereka sebelum melanjutkan perjalanan saya ke Dieng, Wonosobo. Hahaha, pengertian apa emang betah?

>>fast forward>> (skip cerita Karanganyar karena judul postingan ini adalah Dieng 2014 :D)

Nah, kita langsung ke tanggal 16 Juni. Setelah sukses pamitan sama sohibul hajat, saya lalu berangkat menggunakan bus dari Karanganyar menuju Purworejo untuk selanjutnya menuju Wonosobo. Mengikuti saran beberapa tetangga dan kerabat Pak Riyadin yang mengatakan bahwa tidak ada bus dari Karanganyar yang langsung menuju Wonosobo, maka saya pun - mau tidak mau mengambil rute memutar seperti itu.

Saat tiba di Wonosobo, waktu sudah menunjukkan pukul 15:00, padahal dari Karanganyar saya berangkat jam 10:00 pagi. Ini nih, entah kenapa rejeki saya berkali-kali dapat bus yang kecepatannya selow sekali, mulai dari berangkat hingga tiba di Dieng.
Anaknya sabar banget --> ('-.-)/|Pintu Bus|

Dari Wonosobo saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Dieng menggunakan bus kecil dengan tarif Rp. 10.000 saja, yang umumnya memakan waktu sekitar 1 jam untuk tiba di tujuan. Sebenarnya saya sudah merasa bosan duduk di bus, tapi untunglah itu tidak berlaku untuk jalur yang satu ini. Di kanan dan kiri menuju Desa Dieng saya bisa melihat pemandangan perkebunan, perbukitan serta lembah hijau yang berkabut. View-nya tsaakkeeuupp, sodara-sodara! Kalau handphone ngga low-bat mungkin saya sudah jepret sana sini.

Perjuangan saya di jalanan pun berakhir sudah saat saya tiba di Dieng pukul 16:15. *hati menangis* Di pertigaan Desa Dieng, tanpa menengok lagi ke sana ke mari, saya langsung menuju penginapan Bu Djono, ada yang sudah tau? Penginapan ini cukup dikenal di kalangan wisatawan yang pernah berkunjung ke Dieng, dan sudah diulas di situs tripadvisor.co.id. <-- Boleh langsung cek TKP-nya, Gan.

Penginapan Bu Djono
Untuk ukuran low budget traveller, penginapan ini cukup rasanya untuk saya rekomendasikan. Sederhana tapi cukup nyaman. Memang, loteng dan sekat antar kamarnya masih menggunakan kayu dan papan, dan bangunannya pun sudah cukup tua. Namun penilaian soal nyaman tentunya bervariasi pada setiap orang. Saya sendiri merasa nyaman karena ketersediaan kamar mandi yang bersih, fasilitas air panas, wi-fi (penting!) serta makanan yang enak. Kalau terpenuhi, maka menurut saya itu sudah cukup.

Namun alih-alih soal fasilitas, ternyata yang paling saya ingat dari penginapan ini adalah justru keramahan dari staf serta pemilik penginapan yang membuat saya merasa seperti di rumah sendiri. Ada staf bernama Mas Dwi yang selalu siap membantu. Dan Mbak Dwi (namanya kebetulan sama), yang ngga kalah helpful, beliau adalah istri pemilik penginapan.

Mbak Dwi ini sampai membawakan tungku untuk menghangatkan ruangan saat saya tengah menonton televisi di ruang depan. Beliau juga menemani saya berbincang sampai hampir larut malam (Terima kasih lho, Mbae ^^).

Itu tadi tentang penginapan ya, sekarang tentang trip-nya. Sejak beberapa hari sebelum cuti, rencana yang saya susun adalah saya mau hiking muter-muter Dieng, mulai dari melihat Sunrise di Sikunir, menengok Telaga Warna, Kawah Sikidang dan Candi Arjuna. "Lho, kenapa ngga pakai ojek wisata?" Yah, kebetulan saya sedang kepengen jalan kaki, lagi pula biar lebih hemat juga kan? :p.

Singkat cerita, berkat informasi dari Mbak Dwi, dan berkat keberadaan dua pejalan kece yang kebetulan satu penginapan, rencana ke Sikunir berganti jadi naik ke Gunung Prau keesokan harinya. Hahahaha, terhitung nekat karena sebenarnya saya sudah lama ngga berjalan jauh, apalagi model nanjak nanjak begitu.

Tapi kemudian saya pikir kesempatan belum tentu datang dua kali. Siapa tahu juga, Bung Aji Santoso dan Bung Oka Isfernando ini memang sudah ditakdirkan untuk jadi the right men, on the right place and in the right time untuk jadi kawan jalan saya. Yah, siapa tahu? :D

Nah, berdasarkan
saran pemilik penginapan, kami harus mulai naik pada pukul 02:00 dini hari agar dapat tiba di puncak tepat saat sunrise, atau sekitar pukul 05.00. Sedangkan untuk jalur pendakiannya kebetulan persis di belakang penginapan kami. Asikk! Pas banget lah ini.

Jalur pendakian yang umum dipilih pendaki sebenarnya melalui desa Patak Banteng, yang terletak beberapa kilometer sebelum Desa Dieng dari arah Wonosobo. Melalui Patak Banteng konon waktu tempuh pendakiannya lebih singkat daripada melalui Desa Dieng yang kami pilih sebagai starting point. Meskipun lebih jauh sebenarnya tidak jadi masalah, anggap saja ini sebagai bonus - kami jadi bisa dapat view yang lebih banyak.

Well.. Hello, Prau

Jam 02:00 baru saja berlalu. Usai bersiap dan meminta ijin kepada pemilik penginapan, kami berdoa sebelum berangkat. Kami bertiga pun lalu bergegas mengingat sudah terlambat beberapa menit dari rencana. Tidak mau kan kalau saat tiba di puncak, malah ketinggalan menyaksikan sunrise? Maka dengan demikian, berangkatlah kami bertiga..

Spoiler, jalur awal pendakiannya ternyata sangat mudah ditemukan, sesudah melewati bangunan SMP, pematang kebun dan kompleks pemakaman kami pun sudah berada di jalur untuk menuju ke puncak Prau. Ini kalau start-nya dari Desa Dieng, ya teman-teman.

Satu jam pertama mendaki, rasanya saya mau pingsan saja. Sempat terbayang hangatnya kasur dan selimut di penginapan yang berbanding terbalik dengan udara dingin menusuk yang tengah saya rasakan. Salah memang, karena saya tidak mempersiapkan jaket tebal atau syal sebelumnya. Tameng saya saat itu hanya sweater rangkap dua yang tidak bisa dibilang tebal. Jadi ya kejadiannya cukup bisa ditebak, saya kedinginan.

Sementara itu Oka dan Aji nampak santai seperti berjalan di tanah datar. Mereka bisa kalem begitu karena sudah pernah mendaki gunung sebelumnya. Sementara saya ngatur nafas saja susahnya setengah urip (heeuu..). Berkali-kali kalau nafas saya kedengaran sudah mulai ngga beraturan, salah satu dari mereka pasti bakal teriak, "Break!!" dan saya pun langsung ndlosor di rerumputan seadanya. Hahahaha, maaf ya Masbro dan terimakasih loh sudah sangat sabar dan pengertian. *mata berkaca-kaca*

Walau cukup lelah, ternyata 1.5 jam dapat juga saya lalui. Entah kenapa saya kemudian mampu mempercepat langkah meski jalurnya tetap menanjak. Terlebih usai rehat sambil menunggu Oka shalat subuh, perjalanan selanjutnya jadi terasa lebih ringan dan saya lupa kalau habis ngos-ngosan sebelumnya. :D

Lewat 2.5 jam kami mulai menemukan hamparan padang bunga, dan bukit-bukit kecil mirip bukit Teletubbies, itulah tanda perjalanan hanya tinggal sedikit lagi. Total waktu pendakian dari jalur Desa Dieng adalah +/- 3 jam, dengan beberapa kali break tentunya :)

Konon katanya, Prau adalah salah satu Gunung dengan puncak terluas (saya belum pernah membandingkan dengan gunung lainnya). Dan puncaknya tidak datar namun berbukit-bukit nan aduhai seperti ini..




Sampai di puncak, ternyata banyak juga rombongan pendaki yang sudah sampai duluan dan nge-camp sejak malam sebelumnya, semua tengah bersiap menunggu sang matahari muncul di ufuk timur. Saya, Aji dan Oka pun lalu sibuk dengan handphone berkamera masing-masing, siap mengabadikan keindahan matahari dari puncak Prau.


Candid! Aji Santoso dan Oka Isfernando
Tapi sayangnya, bulan Juni ini awan masih menggantung di langit dan menyembunyikan sang matahari. Sesekali matahari memang menyembul dari kumpulan awan, tapi yaa itu cuma sesekali. Kecewa kah? Untungnya tidak, karena semuanya terbayar dengan melihat Sindoro dan Sumbing di kejauhan, lupa semua lelah dan rasa dingin saat kami berjalan-jalan di puncak Prau.

Sumbing dan Sindoro

Melihat Dieng dari atas Prau
Haahh, akhirnya saya pun mulai mengerti rasanya orang naik gunung, setelah di puncak malas turun dan pas turun berharap bisa balik. Ini Prau, gimana kalau gunung lainnya ya?

Ngomong-ngomong, malam sebelum naik Prau, Jerman menang 4 - 0 atas Portugal dalam pertandingan Piala Dunia. Hahahahahaha maafkan adek, Mas Cris. Karena ngga doain Mas Cris menang kali ini. *salim*

Deutschland über alles!

-----------------------Update 26 Juni 2014 --------------------------

Haloha! Ada tambahan sedikit nih. Tadinya saya mau melanjutkan cerita soal kegiatan hiking saya di Dieng dua jam setelah turun dari Prau. Tapi suspend saja, karena ada hal lain yang perlu saya sampaikan.

Sekedar reminder, bahwa apa yang saya tulis dalam post ini hendaknya tidak dijadikan acuan bagi yang berencana solo travelling untuk pertama kali.

Apalagi berkaitan tentang keputusan naik gunung (yah walaupun 'cuma' 2565 mdpl) sebaiknya bukan keputusan yang diambil last minute. Bagaimana pun demi keselamatan, kegiatan ini tetap butuh perencanaan dan persiapan sebelumnya.

Dan khusus untuk yang berencana solo travelling untuk pertama kali, yang penting know yourselfknow your limitbe wise and please be safe, ya.

Sekian dari saya, semoga bermanfaat.

Ciao!

No comments:

Post a Comment